Eksistensi Pengadilan Pajak Dalam Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia

Oleh:

Rocky Marbun, S.H., M.H

Pengadilan PajakA.            Latar Belakang

Indonesia merupakan negara hukum dan bukan negara kekuasaan, hal ini termuat dalam konstitusi negara Undang-undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3) dan lebih lanjut dijelaskan dibagian penjelasan yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum (Rechstaat) dan tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtstaat).

Secara sosiologis, hukum merupakan refleksi dari tata nilai yang diyakini masyarakat sebagai suatu pranata dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.[1] Itu berarti, muatan hukum yang berlaku selayaknya mampu menangkap aspirasi masyarakat yang tumbuh dan berkembang bukan hanya yang bersifat kekinian, melainkan juga sebagai acuan dalam mengantisipasi perkembangan sosial, ekonomi, dan politik di masa depan.

Menurut Galang Asmara yang mengutip pendapat Mochtar Kusumaatmadja, pengertian negara hukum adalah negara yang yang berdasarkan hukum, dimana kekuasaan tunduk pada hukum dan semua orang sama di hadapan hukum.[2]

Berdasarkan konsepsi tersebut diatas, maka hukum merupakan suatu kekuasaan dimana setiap orang dan setiap jabatan dalam negara harus tunduk pada hukum. Selain itu segala kegiatan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara harus didasarkan pada ketentuan hukum. Apabila ada perilaku atau kegiatan yang tidak didasarkan pada ketentuan hukum, harus dipandang sebagai pelanggaran terhadap konsep hukum itu sendiri.

Dalam sebuah negara hukum, lembaga peradilan menjadi sangat penting karena dalam sejarah, selalu ada pihak-pihak baik penyelenggaraan negara/ pemerintahan maupun rakyat yang melanggar ketentuan hukum.[3]

Pendapat yang senada diungkapkan oleh Sjachran Basah , bahwa peradilan merupakan salah satu unsur penting dari negara hukum yang menunjuk kepada proses untuk memberikan keadilan dalam rangka menegakkan hukum.[4]

Tugas negara yang utama adalah mensejahterakan rakyatnya. Di dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat disebutkan salah satu tujuan negara Indonesia didirikan adalah “…..memajukan kesejahteraan umum…”. Ksejahteraan rakyat dapat terwujud jika perekonomian suatu negara berkembang maju. Salah satu sumber keuangan negara yang sangat membantu perekonomian negara adalah pajak. Di sebagian besar negara Eropa sendiri pajak merupakan sumber utama keuangan Negara. Kemajuan negaranya sangat bergantung dengan besar kecilnya pajak yang dipungut oleh Negara (Fiscus) dari rakyatnya (wajib pajak). Sekalipun di Negara-negara Eropa sangat besar tarif pajak yang dibebankan kepada rakyatnya namun pajak tersebut tetap akan dikembalikan pada rakyatnya dalam bentuk fasilitas-fasilitas umum yang pembangunannya menggunakan dana yang diperoleh dari pajak.

Majunya perekonomian suatu Negara juga harus didukung oleh hukumnya yang dibuat dengan tujuan mensejahterakan rakyat juga, sehingga hukum dan ekonomi negara berjalan dengan seimbang, jangan sampai perkembangan ekonomi dihambat oleh hukum itu sendiri. Jika kita lihat dari uraian di atas ada suatu hubungan hukum dalam pajak yaitu antara Negara sebagai pemungut pajak (fiscus) dan rakyat sebagai Wajib Pajak (WP), hubungan ini diatur berdasarkan suatu aturan hukum. Pajak sendiri harus berdasarkan undang-undang, dalam Amandemen Ketiga UUD 1945 Pasal 23A yang berbunyi, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Mengapa pajak diwajibkan oleh UUD 1945 menggunakan undang-undang ? sebab pajak merupakan peralihan kekayaan dari rakyat kepada pemerintah yang tidak ada imbalannya yang secara langsung  dapat ditunjuk. Peralihan kekayaan demikian itu dalam kata sehari-hari hanya dapat berupa penggarongan, perampokan, pencopetan (dengan paksa), atau pemberian hadiah dengan sukarela dan ikhlas (tanpa paksaan).[5] Maka supaya pajak tidak dikatakan perampokan atau pemberian hadiah dengan sukarela maka pajak haruslah berdasarkan undang-undang. Falsafah pajak yang dianut oleh Inggris sama dengan di Indonesia yaitu “No Taxation Without Representation” dan juga di Amerika “Taxation Without Representation is Roberry”.

Hubungan hukum antara Negara dengan wajib pajak ini dapat menimbulkan permasalahan atau dikatakan sebagai sengketa pajak. Sengketa ini timbul dari kurang kesadaran wajib pajak untuk membayar pajak yang dibebankan kepada. Disamping itu juga akibat pelaksanaan penagihan pajak yang merugikan wajib pajak. Sengketa ini tentunya diperlukan suatu lembaga yang dapat menyelesaikan masalah ini. Lembaga yang menyelesaikan sengketa pajak salah satunya adalah Pengadilan Pajak.

Dalam konteks tersebut, maka ketentuan Pasal 24 UUD 1945 ayat (2) mengenai adanya kekuasaan kehakiman menjadi relevan. Salah satu konsekwensi Pasal 24 ayat (2) adalah munculnya berbagai lembaga peradilan, diantaranya adalah Lembaga Peradilan Pajak.

Keberadaan lembaga peradilan pajak sangat penting apabila dikaitkan dengan konsep negara hukum, yang menghendaki adanya penegakan hukum oleh lembaga peradilan. Hukum yang ditegakkan disini adalah hukum dalam bidang perpajakan yang terkait dengan penegakan hak dan kewajiban negara dan rakyat dalam rangka pemungutan pajak oleh negara terhadap rakyat.

Pengadilan pajak sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, merupakan badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan apabila terjadisengketa pajak dengan fiscus atau pemungut pajak.[6]

Hal ini memberikan gambaran bahwa tugas dari pengadilan pajak adalah memberikan perlindungan hukum kepada pihak-pihak yang bersengketa dalam sidang pengadilan pajak.

Keberadaan lembaga-lembaga peradilan di tanah air tidak bisa dilepaskan dari konsep negara hukum yang menghendaki adanya supremasi hukum dan penegakan hukum.[7] Lembaga-lembaga peradilan tersebut menjadi sangat penting, karena dapat dipastikan tanpa adanya lembaga peradilan yang diberi kewenangan untuk melakukan penegakan hukum, maka hukum tidak akan banyak maknanya dalam masyarakat. Salah satu lembaga peradilan yang yang bertugas melakukan penegakan hukum tersebut adalah Lembaga Peradilan Pajak.

Peradilan Pajak merupakan implementasi dari Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Hal ini sebagaimana tertuang dalam Pasal 27 ayat (1) UU KUP, yang mengatakan bahwa Wajib Pajak dapat mengajukan pemohonan Banding hanya kepada Badan Peradilan Pajak terhadap Surat Keputusan Keberatan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak maka penyelesaian sengketa pajak dapat dilakukan melalui Pengadilan Pajak. Pengadilan ini didirikan untuk menggantikan peran Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP). Menurut UU, pengadilan pajak memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memutus sengketa pajak yang terjadi antara wajib pajak dan Direktorat Jenderal Pajak.

Sebenarnya, niat awal pembentukan peradilan ini sudah sesuai dengan semangat konstitusi dan integrated justice system, yakni peradilan yang sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia, yang terpadu dan berpuncak ke Mahkamah Agung (MA). Sebelumnya, BPSP–yang diperdebatkan statusnya sebagai badan peradilan– tidak berpuncak di MA.

Namun di dalam pembentukan UU Pengadilan Pajak semenjak diundangkan justru memunculkan dualisme pembinaan sehingga sangat rawan disalahgunakan. Mengutip penelitian Benny K. Harman (1997) dan Muhammad Asrun (2004) yang menyimpulkan bahwa dualisme antara yudikatif dan eksekutif adalah masalah inti peradilan selama orde lama dan orde baru yang menyebabkan rentannya peradilan terhadap intervensi politik dan korupsi.  Oleh karena itulah diawal reformasi, agenda utama reformasi hukum yang diamanatkan oleh Ketetapan MPR No. X/1998 adalah pemisahan yang tegas fungsi yudikatif dari esekutif.

Pemisahan ini diperkuat dengan lahirnya UU No. 35/1999 tentang Kekuasaan Kehakiman yang mengamanatkan untuk menerapkan sistem satu atap peradilan (one roof system). Sistem ini menghendaki semua urusan yang berhubungan dengan peradilan berada dibawah kendali MA.

Berbagai kelemahan yang terdapat dalam UU Pengadilan Pajak, tentunya harus segera diperbaiki. Pengadilan pajak harus ditata ulang, baik secara hukum, administrasi, organisasi dan finansialnya. Poin penting yang harus diperhatikan adalah pengadilan pajak harus berada dibawah MA. Selain itu, patut dipertimbangkan membentuk pengadilan pajak setidaknya di empat kota, Medan, Jakarta, Surabaya, Makassar dan pengadilan tinggi banding di Jakarta. Dengan tujuan, memutus mata rantai mafia pajak dan makelar kasus yang sudah menggerogoti pengadilan pajak.

Di negara-negara berkembang pembaharuan hukum merupakan prioritas utama, terlebih jika negara dimaksud merupakan negara yang baru merdeka dari penjajahan bangsa/negara lain. Oleh karena itu, di negara-negara berkembang pembaharuan hukum senantiasa mengesankan adanya peranan ganda. Pertama, merupakan upaya untuk melepaskan diri dari lingkaran struktur hukum kolonial. Upaya tersebut terdiri atas penghapusan, penggantian, dan penyesuaian ketentuan hukum warisan kolonial guna memenuhi tuntutan masyarakat nasional. Kedua, pembaharuan hukum berperan pula dalam mendorong proses pembangunan, terutama pembangunan ekonomi yang memang diperlukan dalam rangka mengejar ketertinggalan dari negara-negara maju, dan yang lebih penting adalah demi peningkatan kesejahteraan masyarakat warga negara.[8]

Saat ini di Indonesia masih terdapat banyak peraturan-peraturan hukum yang sudah tidak up to date namun tetap dipertahankan. Dalam rangka menyongsong era global dan pasar bebas mendatang jelas peraturan-peraturan hukum tersebut memerlukan revisi dan jika perlu dirubah total dengan bobot materi yang mencerminkan gejala dan fenomena masyarakat saat ini.

B.           Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, maka Penulis menemukan beebrapa rumusan masalah sebagai berikut:

  1. Bagaimanakah kedudukan Badan Pengadilan Pajak menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dalam Kekuasaan Kehakiman di Indonesia?
  2. Apakah yang menjadi kendala dalam implementasi Pengadilan Pajak dalam menyelesaikan sengketa Pajak?

C.           Pembahasan/Analisis

1. Aspek Hukum Dalam Hukum Pajak

Pajak merupakan gejala sosial dan hanya terdapat dalam suatu masyarakat yaitu masyarakat hukum atau Gemeinschaft bukan masyarakat yang bersifat Geselschaft.[9] Pajak sebenarnya adalah utang, yaitu utang anggota msyarakat kepada masyarakat. Pajak sendiri menurut UUD 1945 diamanatkan harus dengan undang-undang. Dengan undang-undang diharapkan tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan (detournement de pouvoir). Detournement de pouvoir adalah penggunaan daripada wewenang yang menyimpang dari tujuannya menurut undang-undang yang bersangkutan.[10]

Definisi pajak sendiri memiliki berbagai macam, setiap pakar dalam memberikan definisi berbeda namun pada intinya sama. Menurut Prof. Dr. P.J.A. Adriani, pajak  adalah iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapatkan prestasi-kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.[11] Sedangkan menurut Mr. Dr. N. J. Feldmann dalam bukunya De overheidsmeddelen van Indonesia, Leiden, 1949, adalah

“Belastinge zijn aan de overheid (volgens aglemene, door haar vastgestelde normen) verschuldigde afdwingbare prestties, waar geen tegenprestatie tegenover staat en uitsluitend dienen tot dekking van publieke uitgaven”.

“Pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terhutang kepada penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkannya secara umum), tanpa adanya kontraprestasi dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum”.[12]

Mengenai pajak  dapat kita lihat ada dua pihak di dalam pajak yaitu Negara sebagai pemungut pajak (fiscus), dan subjek pajak, disamping itu ada objek pajak (yang dapat dikenakan pajak). Di atas telah dijelaskan dasar mengapa Negara dapat memungut pajak pada rakyatnya. Sedangkan subjek pajak sendiri dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang telah dirubah oleh Undang-Undang No. 16 Tahun 2000 dan diubah kembali dengan Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tidak menjelaskan  apa yang dimaksud dengan subjek pajak, hanya wajib pajak lah yang dijelaskan. Menurut Rochmat Soemitro subjek pajak adalah orang atau badan yang memenuhi syarat-syarat subjektif. Subjek pajak tidak identik dengan subjek hukum, sebab untuk menjadi subjek pajak tidak perlu menjadi subjek hukum.[13]

Dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1983 tentang Pajak penghasilan pasal 2 menyebutkan subjek pajak dalam PPh adalah:

  1. Orang pribadi atau perorangan,
  2. Warisan yang belum terbagi, sebagai suatu kesatuan menggantikan yang berhak,
  3. Badan yang mempunyai berbagai bentuk yang sifatnya satu denga lain berlainan,
  4. Bentuk usaha tetap.

Subjek pajak sendiri belum tentu menjadi wajib pajak. Subjek pajak harus selain harus memenuhi syarat subjektif  juga harus memenuhi syarat objektif yaitu memenuhi Tatbestand yang telah ditentukan oleh undang-undang. Dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang No.6 Tahun 1983 Pasal 1 angka 2 Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Segala sesuatu yang ada dalam masyarakat dapat dijadikan sasaran Objek pajak, baik keadaan, perbuatan, maupun peristiwa atau dalam bahasa Jerman disebut Tatbestand. Misalnya: [14]

  1. Keadaan: kekayaan seseorang pada suatu tertentu, memiliki kendaraan bermotor, menempati rumah tertentu.
  2. Perbuatan: melakukan penyerahan barang karena perjanjian, mendirikan rumah atau barang.
  3. Peristiwa: kematian, keuntungan yang diperoleh secara mendadak.

2. Pengadilan Pajak Dan Kekuasaan Kehakiman

Pajak merupakan salah satu sumber pemasukan kas negara yang digunakan untuk pembangunan dengan tujuan akhir kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, sektor pajak memegang peranan penting dalam perkembangan kesejahteraan bangsa. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa sulitnya negara melakukan pemungutan pajak karena banyaknya wajib pajak yang tidak patuh dalam membayar pajak merupakan suatu tantangan tersendiri. Pemerintah telah memberikan kelonggaran dengan memberikan peringatan terlebih dahulu melalui Surat Pemberitahuan Pajak (SPP). Akan tetapi, tetap saja banyak wajib pajak yang lalai untuk membayar pajak bahkan tidak sedikit yang cenderung menghindari kewajiban tersebut.[15]

Dalam konteks pajak, perbedaan pendapat dan sengketa relatif sering terjadi karena adanya perbedaan penafsiran dan kepentingan antara fiskus dengan Wajib Pajak. Karena, diakui atau tidak, hingga saat ini tidak sedikit peraturan pajak yang dianggap tidak jelas, kurang tegas dan cenderung multitafsir sehingga dapat diartikan secara berbeda oleh kedua pihak yang masing-masing memiliki kepentingan yang berbeda pula.

Apalagi jika sudah menyangkut kepentingan antara Wajib Pajak dan fiskus, maka adanya beda penafsiran itu dapat dipastikan akan selalu ada. Fiskus dalam konteks ini menjadi kepanjangan tangan dari pemerintah yang notabene memiliki tujuan dan kepentingan mencari dan mengumpulkan dana penerimaan negara dari sektor pajak semaksimal dan seoptimal mungkin. Sementara di sisi lain, Wajib Pajak seminimal mungkin agar keuntungan usaha dan kesejahteraannya tidak berkurang.

Pada tahun 2002, setelah Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diubah untuk kedua kalinya, Undang-undang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak dinyatakan tidak berlaku dan digantikan dengan Undang-undang Pengadilan Pajak. Konsekuensi penggantian tersebut adalah Badan Penyelesaian Sengketa Pajak diganti dengan Pengadilan Pajak sebagai badan peradilan pajak yang berwenang memeriksa dan memutus sengketa.

Pasal 2 Undang-undang No. 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak menyatakan bahwa Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung Pajak yang mencari keadilan terhadap Sengketa Pajak. Selanjutnya penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa Pengadilan Pajak adalah badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2000, dan merupakan Badan Peradilan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999.

Setelah berlakunya Undang-undang No. 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan diubah lagi dengan Undang-undang Nomor 28 tahun 2007 sedangkan Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman diubah lagi dengan Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Di dalam paragrap pertama Penjelasan Umum Undang-undang No. 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dinyatakan bahwa Pengadilan Pajak dibentuk salah satunya adalah untuk menggantikan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) yang dianggap dalam pelaksanaan penyelesaian Sengketa Pajak melalui BPSP masih terdapat ketidakpastian hukum yang dapat menimbukan ketidakadilan.

Paragrap terakhir Penjelasan Umum Undang-undang No. 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak menyatakan bahwa Pengadilan Pajak yang diatur dalam undang-undang ini bersifat khusus menyangkut acara penyelengaraan persidangan sengketa perpajakan, yaitu:

  1. Sidang Peradilan Pajak pada prinsipnya dilaksanakan secara terbuka, namun dalam hal tertentu dan khusus guna menjaga kepentingan pemohon Banding atau tergugat, sidang dapt dinyatakan tertutup, sedangkan pembacaan putusan Hakim Pengadilan Pajak dilaksanakan dalam sidang yang terbuka untuk umum.
  2. Penyelesaian sengketa perpajakan memerlukan tenaga-tenaga Hakim khusus yang mempunyai keahlian di bidang perpajakan dan berijzah Sarjana Hukum atau sarjana lain.
  3. Sengketa yang diproses dalam Pengadilan Pajak khusus menyangkut sengketa perpajakan.
  4. Putusan Pengadilan Pajak memuat penetapan besarnya Pajak terutang dari Wajib Pajak, berupa hitungan secara teknis perpajakan, sehingga Wajib Pajak langsung memperoleh kepastian hukum tentang besarnya Pajak terutang yang dikenakan kepadanya.

Sebagai akibatnya jenis putusan Pengadilan Pajak, disamping jenis-jenis putusan yang umum diterapkan pada peradilan umum, juga berupa mengabulkan sebagian, mengabulkan seluruhnya, atau menambah jumlah Pajak yang masih harus dibayar.

Sebagai konsekuensi dari kekhususan tersebut diatas, dalam undang-undang ini diatus hukum acara tersendiri untuk menyelenggarakan Pengadilan Pajak. Menurut Sudjawardi[16], Pengadilan Pajak memiliki kewenangan untuk memeriksa, memutus, mengadili sengketa pajak. Sengketa pajak sendiri terdiri dari pajak pusat maupun pajak daerah. Pajak pusat ada 7, yaitu yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak (yaitu Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Meterai dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan). Sedangkang dua pajak dikelola oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yaitu bea dan cukai.

Menurut Istiani[17], Pengadilan Pajak didirikan dengan suatu asumsi bahwa upaya peningkatan penerimaan pajak pusat, pajak daerah, bea masuk dan cukai, dalam prakteknya, terkadang dilakukan tanpa adanya peningkatan keadilan terhadap para Wajib Pajak itu sendiri. Karenanya, masyarakat dalam hal ini Wajib Pajak seringkali merasakan bahwa peningkatan kewajiban perpajakan/bea tidak memenuhi asas keadilan, sehingga menimbulkan berbagai sengketa perpajakan sehingga dirasakan adanya suatu kebutuhan untuk mendirikan suatu badan peradilan khusus untuk menanganinya.

Selanjutnya menurut Galang Asmara, kebutuhan adanya suatu lembaga Peradilan Pajak didasarkan pada dua hal sebagai berikut:[18]

  1. Lembaga Peradilan Pajak dan Konsep Negara Hukum

Keberadaan lembaga peradilan pajak bila dikaitkan dengan konsep Negara Hukum adalah untuk menegakkan konsep Negara Hukum itu sendiri yang menghendaki adanya penegakkan hukum oleh lembaga peradilan. Hukum yang ditegakkan disini adalah hukum dalam bidang perpajakan yang terkait dengan penegakan hak dan kewajiban negara dan rakyat dalam rangka pemungutan pajak oleh negara terhadap rakyatnya atau penduduk negara.

Pembangunan merupakan upaya sadar yang dilakukan untuk merubah suatu kondisi dari suatu tingkat yang dianggap kurang baik ke kondisi baru pada tingkat kualitas yang dianggap baik atau paling baik.[19] Pembangunan yang dilaksanakan tentu saja pembangunan yang memiliki pijakan hukum yang jelas, bisa dipertanggungjawabkan, terarah serta proporsional antara aspek fisik (pertumbuhan) dan non- fisik.

         2.  Perlindungan Pajak dan Perlindungan Hukum Bagi Rakyat

Lembaga Peradilan Pajak sebagai salah satu lembaga perlindungan hukum terutama berfungsi di dalam memberikan perlindungan terhadap Wajib Pajak dan penanggung pajak dari tindakan pemerintah di dalam memungut pajak terhadap rakyat.

Lembaga peradilan pajak disini berperan di dalam menyelesaikan sengketa pajak, yaitu sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak dan penanggung pajak dengan pejabat yang berwenang.

Apabila diteliti, semua masyarakat yang sedang membangun selalu dicirikan oleh perubahan, bagaimanapun kita mendefinisikan pembangunan itu dan apapun ukuran yang kita pergunakan bagi masyarakat dalam pembangunan. Peranan hukum dalam pembangunan adalah untuk menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan suasana damai dan teratur.[20]

Munculnya Pengadilan Pajak tidak terlepas suatu proses legal reform (pembaharuan hukum) dalam hukum perpajakan yang sebelum dirasakan tidak memberikan rasa keadilan bagi masyarakat sebagai wajib pajak. Legal reform (pembaharuan hukum)sebenarnya mengandung makna yang luas mencakup sistem hukum.

Menurut Friedman, sistem hukum terdiri atas struktur hukum (structure), substansi/materi hukum (substance), dan budaya hukum (legal culture).[21] Sehingga, ketika bicara pembaharuan hukum maka pembaharuan yang dimaksudkan adalah pembaharuan sistem hukum secara keseluruhan yang meliputi struktur hukum, materi hukum dan budaya hukum. Karena luasnya cakupan sistem hukum, maka dalam tulisan ini, hanya dibatasi pada salah satu elemen sistem hukum yakni substansi/materi hukum. Namun demikian, dalam uraian berikutnya istilah “pembaharuan hukum” tetap dipertahankan yang sebenarnya mengandung makna lebih khusus atau sepadan dengan istilah “pembentukan hukum”.

Banyak teori yang mencoba menemukan skema atau ide dasar pembentukan atau pembaharuan hukum. Masing-masing teori berupaya mengemukakan argumentasi atas pendapatnya dengan menonjolkan sisi keunggulan masing-masing. Biasanya teori yang disusun tersebut dipengaruhi oleh teori-teori lama atau bisa juga sebagai bentuk kritik (penyempurnaan) dan dukungan terhadap teori-teori sebelumnya. Aspek waktu, kondisi psikologis masyarakat/negara maupun tempat memiliki peran yang signifikan bagi perumusan bentuk/materi dari teori tersebut. Sehingga sering terjadi bahwa teori-teori itu memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing manakala teori itu dihadapkan pada kondisi atau situasi masyarakat yang berbeda.

Terkait dengan kewenangan dari Pengadilan Pajak, maka haruslah diketahui terlebih dahulu mengenai sumber hukum dari berdirinya Pengadilan Pajak. Maka dikaitkan dengan landasan yuridis dalam UU Pengadilan Pajak, khususnya pada Konsideran bagian Mengingat angka 2, yang menegaskan sebagai berikut:

Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3879).”

Sehingga diketahui, bahwa Pengadilan Pajak tersebut didasarkan kepada UU Kekuasaan Kehakiman, yang saat ini melalui Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009. Dimana ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 27 UU Kekuasaan Kehakiman 2009, sebagai berikut:

Yang dimaksud dengan “pengadilan khusus” antara lain adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial dan pengadilan perikanan yang berada di lingkungan peradilan umum, serta pengadilan pajak yang berada di lingkungan peradilan tata usaha negara.”

Dari redaksional dalam penjelasan pasal tersebut, maka diketahui bahwa Pengadilan Pajak menundukan diri pada kekuasaan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sehingga Pengadilan Pajak memiliki kompetensi sebagai berikut:[22]

  1. Kompetensi Relatif

Kompetensi relatif Pengadilan Pajak tidak mengikuti kompetensi relatif badan peradilan di lingkungan peradilan tata usaha negara. Kompetensi relatif Pengadilan Pajak mencakup seluruh wilayah hukum Indonesia.

        2. Kompetensi Absolut

Adanya kompetensi absolut Pengadilan Pajak berarti berwenang memeriksa dan memutus sengketa pajak berupa banding maupun gugatan yang diajukan oleh pihak-pihak yang berkehendak untuk memperoleh keadilan, kemanfaatan, atau kepastian hukum sebagai bentuk perlindungan hukum. Kewenangan untuk memeriksa dan memutus sengketa pajak tidak boleh dilakukan oleh badan peradilan lainnya termasuk pengadilan dalam lingkungan peradilan tata usaha negara.

Eksistensi Pengadilan Pajak yang mejalankan kekuasaan kehakiman berdasarkan lex specialist dengan predikat sebagai pengadilan banding. Seperti diketahui, bahwa pengadilan banding merupakan tahapan peradilan setelah adanya putusan pengadilan di bawahnya yang bersifat final.

Sebenarnya peradilan yang berkaitan dengan pajak sudah eksis jauh sebelum dibentuknya Pengadilan Tata Usaha Negara yang disebut sebagai Majelis Pertimbangan Pajak yang dibentuk pemerintah sebagai badan peradilan dan menjalankan fungsi sebagai peradilan administrasi khusus menangani masalah perselisihan pajak. Dalam prakteknya perkara sengketa yang penyelesaiannya dilakukan di Majelis Pertimbangan Pajak adalah perkara perselisihan yang timbul sebagai akibat perbuatan hukum berupa penetapan atau keputusan dari pejabat pajak yang tidak disetujui oleh pembayar pajak. Pertimbangan pembentukan undang-undang untuk memasukkan pengadilan pajak sebagai badan penyelesaian sengketa perpajakan dalam lingkup Peradilan Tata Usaha Negara. Dipandang dari perjalanan dan perkembangan Majelis Pertimbangan Pajak institusi ini sudah dapat memberikan saluran bagi ketidakpuasan dan ketidak setujuan wajib pajak melalui sengketa pajak.

Eksistensi Pengadilan Pajak yang merupakan pengadilan tingkat banding sesuai dengan Ilmu Hukum yang berlaku secara universal setiap badan pengadilan mempunyai hukum acara sendiri yang merupakan panduan bagi para penegak hukum dan hakim untuk menjalankan kekuasaan kehakiman. Keberadaan Pengadilan Pajak dalam hukum Pajak dikenal adanya penafsiran historis yaitu penafsiran yang didasarkan atas sejarah dibuatnya suatu undang-undang. Seperti diketahui bahwa sebelum undang-undang tentang Pengadilan Pajak lahir, Majelis Pengadilan Pajak mendasarkan penyelesaian sengketa pajak atas undang-undang yang khusus dibentuk untuk itu. Demikian juga halnya dengan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak, keberadaannya didasarkan kepada suatu undang-undang sehingga kedua-duanya sah dan dapat menjalankan fungsi yudikatif meskipun belum menjalankan kekuasaan kehakiman.[23]

Penyelesaian melalui sengketa pajak dapat dilakukan dengan adil melalui prosedur dan proses yang cepat, murah dan sederhana. Oleh karena itu proses pencapaian kepastian hukum dan keadilan akan dijamin dan dipertanggung jawabkan berdasarkan Undang-Undang. Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

Dengan meningkatnya jumlah wajib pajak dan pemahaman akan hak dan kewajibannya dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan tidak dapat dihindarkan timbulnya sengketa pajak yang memerlukan penyelesaian yang adil dengan prosedur dan proses yang cepat, murah dan sederhana. Karenanya diperlukan suatu pengadilan pajak yang sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia dan mampu menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa pajak.

Keterkaitan antara Pengadilan Pajak dengan PTUN adalah dapat ditinjau dari 2 (dua) sudut tolak ukur sebagai berikut:

  1. Tolak Ukur Subyek

Pasal 1 butir 5 UU Pengadilan Pajak berbunyi :

Sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara wajib pajak atau penanggung pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkan keputusan yang diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

Dari pengertian tersebut di atas, maka subyek atau pihak-pihak yang bersengketa dalam sengketa pajak adalah antara rakyat (wajib pajak) dengan pemerintah (pemungut pajak). Sebagaimana pendapat Sjachran Basah bahwa manakala sengketa itu terjadi antara rakyat dengan pemerintah, maka hal tersebut merupakan salah satu ciri dari sengketa Tata Usaha Negara.[24]

          2. Tolak Ukur Obyek

Yang menjadi obyek dalam sengketa pajak berdasarkan ketentuan Pasal 1 butir 5 UU Pengadilan Pajak adalah Keputusan. Yang dimaksud Keputusan menurut Pasal 1 butir 4 UU Pengadilan Pajak adalah suatu penetapan tertulis di bidang perpajakan yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan dan dalam rangka pelaksnaan Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

Pengertian di atas sejalan dengan ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diamandemen pertama dengan Undnag-undang Nomor 9 Tahun 2004 dam amandemen kedua dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, berbunyi sebagai berikut :

Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikelurkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersifat tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bersifat konkret, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.”

Berdasarkan beberapa ketentuan tersebut di atas, maka sengketa pajak merupakanSengketa Tata Usaha Negara, sehingga Pengadilan Pajak menjadi bagian dari Sistem Peradilan Tata Usaha Negara.

Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 14 Tahun 2004 tentang Pengadilan Pajak, maka proses penyelesaian sengketa pajak dapat dilakukan melalui Pengadilan Pajak.[25]

Pengadilan Pajak sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2004, merupakan badan peradilan yang melaksanakan Kekuasaan Kehakiman bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan dalam hal terjadi sengketa pajak dengan fiscus.[26]

Pengadilan pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutus sengketa pajak, yakni berupa Banding atas keputusan keberatan dan Gugatan atas pelaksanaan penagihan pajak atas keputusan pembetulan.[27]

Konsep dasar pembentukan Pengadilan Pajak yang pada awalnya bernama Majelis Pertimbangan Pajak (MPP) kemudian diubah menjadi Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) adalah dalam rangka memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang bersengketa dibidang perpajakan, karena dalam pelaksanaan penyelesaian sengketa pajak melalui BPSP masih terdapat ketidakpastian hukum yang dapat menimbulkan ketidakadilan.[28]

Akan tetapi, yang menjadi persoalan adalah berbagai aturan yang termuat dalam UU Pengadilan Pajak tidak mencerminkan semangat konstitusi dan ketundukkan pada integrated justice system. UU Pengadilan Pajak menjadikan institusi Pengadilan Pajak seolah-olah menjadi peradilan tersendiri di luar MA. Hal ini dapat ditelisik dari beberapa ketentuan berikut.

Pertama, Pengadilan pajak adalah pengadilan yang pertama dan terakhir dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak. Hal ini ditegaskan Pasal 33 dan diperkuat oleh Pasal 77 yang menyatakan bahwa putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap.

Selain itu, pengadilan pajak tidak mengenal kata banding dan kasasi. Pasal 80 ayat 2 menjelaskan bahwa sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir pemeriksaan atas sengketa pajak hanya dilakukan oleh Pengadilan Pajak. Terhadap putusannya tidak dapat lagi diajukan gugatan, banding, atau kasasi. Dengan kewenangan sebagai pemutus kata akhir dalam sengketa pajak, maka praktis pengadilan ini tidak membutuhkan MA.

Pengaturan yang demikian hanya dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Dimana MK merupakan satu-satunya lembaga peradilan konstitusi yang putusannya bersifat final dan mengikat. Namun, kewenangan MK tersebut diperoleh dari UUD 1945. MK merupakan bagian dari pelaksana kekuasaan kehakiman bersama MA. Sedangkan pengadilan pajak tidak.

Dengan demikian, terlihat jelas bahwa UU memposisikan pengadilan ini sebagai badan peradilan yang berdiri sendiri. MA sebagai lembaga peradilan tertinggi dinegeri ini tidak dilibatkan. MA hanya dilibatkan di mekanisme Peninjauan Kembali (PK) yang merupakan upaya hukum luar biasa, bukan upaya hukum biasa dan itupun dengan syarat yang sangat limitatif. Sehingga dengan kata lain, sebenarnya UU ini ingin mengesampingkan peran MA dalam penyelesaian sengketa pajak.

Kedua, hal yang mencerminkan pengadilan ini sebagai institusi yang berdiri sendiri adalah adanya hukum acara yang khusus. Hukum acaranya sebagian besar tidak mengacu pada sistem hukum acara yang ada (KUHAP atau KUHAPerdata). Hal ini berbeda dengan pengadilan khusus lainnya dimana hukum acaranya masih mengacu pada sistem hukum acara yang ada kecuali hanya beberapa ketentuan khusus saja.

Mengutip penelitian Komisi Hukum Nasional tahun 2007 bahwa diantara beberapa pengadilan khusus yang ada, yakni pengadilan anak, hak asasi manuasia, perikanan, hubungan industrial, tindak pidana korupsi dan pengadilan niaga, hanya pengadilan pajak yang menggunakan hukum acara sendiri.

Ketiga, rekrutmen hakim pengadilan pajak sangat berbeda dari pengadilan lain. Menteri Keuangan mempunyai peran yang sangat besar. Mayoritas hakim juga berasal dari mantan pejabat Ditjen Pajak dan Bea Cukai. Sehingga rawan menimbulkan konflik kepentingan dan merusak independensi hakim.

Keempat,Pengadilan Pajak tidak memadai untuk memutus perkara karena tempat dan ruangan sidang yang kurang baik. Selain itu, tiap majelis masing-masing memeriksa 25 berkas yang membuat perkara menjadi tidak fokus hingga putusan pun menjadi terlambat. Belum lagi, Pengadilan Pajak kekurangan tenaga kerja dibidang disiplin ilmu lainnya seperti akuntansi, hukum dagang, perdata, HAKI, tata usaha negara dan lainnya.

Kelima, proses penanganan perkara sengketa pajak di Indonesia berjalan lamban karena setiap perkara harus diselesaikan di pusat. Hal itu, katanya, memperlambat kerja pengadilan pajak. Tjip Ismail[29] menyarankan agar pengadilan pajak dapat digelar di luar Jakarta atau daerah tempat berperkara.

Beberapa ketentuan diatas mengindikasikan bahwa pengadilan pajak seperti pengadilan yang berdiri sendiri dan berada diluar sistem peradilan terpadu. Hal itu bertentangan dengan UUD 1945. Sebagaimana amanat Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Lalu, dimana posisi pengadilan pajak? Karena pengadilan ini tidak tunduk dibawah lingkungan peradilan manapun. Selain bertentangan dengan konstitusi, UU Pengadilan Pajak juga bertentangan dengan UU Kekuasaan Kehakiman No. 48 tahun 2009. Pasal 27 mengatur bahwa Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah MA.

Kekeliruan lain yang terdapat dalam UU Pengadilan pajak adalah legitimasi terhadap dualisme pembinaan peradilan. Pembinaan teknis peradilan dan pengawasan umum hakim dilakukan oleh MA. Sementara pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan dilakukan oleh Menteri Keuangan. Dalam praktiknya, sistem pembinaan ini didominasi oleh Kementerian Keuangan.

Dengan memperhatikan uraian-uraian tersebut diatas, maka seyogyanya pembentukan hukum, dalam hal ini adalah Undang-undang, memperhatikan unsur-unsur idee des recht, yang meliputi asas kepastian hukum, asas keadilan dan asas kemanfaatan. Walaupun pada praktiknya hampir tidak mungkin untuk menghadirkan ketiga unsur Idee des Rechts itu secara proporsional. Jika keadilan lebih dipentingkan maka kepastian hukum dikorbankan. Jika kepastian hukumnya didahulukan, keadilannya akan dikorbankan. Dalam hal terjadi konflik antara keadilan dan kepastian hukum, maka hakim berdasarkan Freies Ermessen (kebebasannya) dapat memiliih keadilan dengan mengabaikan kepastian hukum sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan umum.

Terkait dengan teori idee des rechts, maka dapat dijabarkan sebagai berikut:

  1. Asas kemanfaatan, seharusnya hukum dapat menjadi alat bahkan panglima untuk dapat mengawal masyarakat menuju kehidupan yang tentram, aman dan adil. Sebagaimana dikemukakan oleh Roscoe Pound “law as a tool of social engineering” bahwa hukum bukan merupakan pagar yang dapat membatasi secara normatif saja, tetapi hukum dapat dipergunakan sebagai alat untuk membangun masyarakat. Badan pembentuk undang-undang yang berwenang menciptakan hukum seharusnya dapat memanfaatkan perannya untuk dapat mengembangkan perekonomian yang dapat mendorong pertumbuhan sosial ekonomi masyarakat.
  2. Asas kepastian hukum, tanpa adanya kepastian hukum, hukum tidak akan memiliki wibawa bagi masyarakat. Hukum akan dianggap sebagai aturan tertulis saja yang tidak diindahkan keberadaannya.

Ketentuan untuk melakukan pembayaran sebesar 50% sebelum mengajukan upaya hukum melalui Pengadilan Pajak merupakan ketentuan yang sangat merugikan Wajib Pajak. Secara yuridis normati, ketentuan tersebut merupakan landasan hukum bagi Pengadilan Pajak bahwa untuk memenuhi persyaratan formill, yang berasaskan kepada ajaran positivisme, maka pemenuhan asas kepastian hukum dalam ketentuan hukum tersebut bersifat sumir, karena hanya kepastian dalam bentuk redaksional, sehingga berbenturan dengan asas keadilan.

  1. Asas keadilan, tujuan utama dari hukum yang paling penting adalah asas keadilan. Sehingga, pembentukan peraturan perundang-undangan wajib memperhatikan keterkaitan pasal-pasal dalam RUU yang akan dibentuk, bahkan upaya sinkronisasi wajib untuk dilakukan dalam menjaga tingkat keadilan bagi masyarakat.

Di dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan pada Pasal 8 memberikan ketegasan bahwa seorang Wajib Pajak diberikan kesempatan untuk melakukan upaya hukum, namun pada UU Pengadilan Pajak pada Pasal 77, dinyatakan putusan Pengadilan Pajak adalah final and binding.

Dengan terkuaknya kasus mafia hukum yang melibatkan pegawai Direktorat Jenderal Pajak, Gayus Tambunan, maka menjadi titik awal untuk membenahi sistem perpajakan serta Pengadilan Pajak itu sendiri demi cita-cita reformasi birokrasi dan reformasi hukum.

Reformasi Birokrasi di Kementrian Keuangan bukan hanya dititikberatkan pada persoalan remunerasi, tetapi pembinaan mental aparaturnya, pelayanan yang prima, sehingga menurut penulis, sebesar apapun gaji yang diterima, jika mentalnya seorang aparatur sudah bobrok, maka sama saja.

Mengenai reformasi hukum dalam lingkup Pengadilan Pajak, seperti yang penulis sudah uraikan diatas, maka sudah saatnya mengevaluasi kembali UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, mencakup dintegrasikan kembali Pangadilan Pajak di bawah MA, perekrutan hakim yang benar-benar akuntabel, jujur dan mempunyai integritas tinggi serta kemudahan pengawasan dalam hukum acara Pengadilan Pajak.

Jika kelemahan dalam UU Pengadilan Pajak ini dapat segera diatasi, maka setidaknya, kekalahan negara dalam skala besar melawan WP dapat diminimalisir. Pajak merupakan garda terdepan untuk penerimaan negara. Jika pemerintah menutup mata dengan hal ini, maka tidak heran perbandingan penerimaan pajak akan tidak berbanding lurus dengan Produk Domestik Bruto (PDB).

Kini tantangan-tantangan lain harus segera dijawab, seperti beranikah jajaran aparatur di Kementrian Keuangan, khususnya Ditjen Pajak untuk memberikan pembuktian terbalik bahwa tidak ada lagi pelanggaran dan penyelewengan lainnya setelah Gayus.

D.           Kesimpulan

Berdasarkan uraian dalam pembahasan tersebut diatas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

  1. Bahwa di dalam Pasal 27 UU Kekuasaan Kehakiman ditegaskan dimana Pengadilan Pajak merupakan bagian dari Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), dan sebagai pengadilan yang bersifat khusus sudah selayaknya memiliki hukum acara tersendiri. Namun jika dicermati beberapa pasal yang termuat di dalam UU Pengadilan Pajak tersebut, maka nampaknya Pengadilan Pajak memiliki sifat kemandirian yang berdiri sendiri terpisah dari Mahkamah Agung, hal ini dapat terlihat dari sifat dan jenis putusan serta rekrutmen para Hakim Pengadilan Pajak.
  2. Berbagai kelemahan yang terdapat dalam UU Pengadilan Pajak, tentunya harus segera diperbaiki. Pengadilan pajak harus ditata ulang, baik secara hukum, administrasi, organisasi dan finansialnya. Poin penting yang harus diperhatikan adalah pengadilan pajak harus berada dibawah MA. Selain itu, patut dipertimbangkan membentuk pengadilan pajak setidaknya di empat kota, Medan, Jakarta, Surabaya, Makassar dan pengadilan tinggi banding di Jakarta. Dengan tujuan, memutus mata rantai mafia pajak dan makelar kasus yang sudah menggerogoti pengadilan pajak.

 Daftar Referensi

Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Jakarta: Toko Agung , 2002.

Galang Asmara, Peradilan Pajak Dan Lembaga Penyanderaan (Gijzeling) Dalam Hukum Pajak di Indonesia, Yogyakarta: LaksBang Pressindo, 2006.

Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Bandung: Alumni, 1989.

Rochmat Soemitro. Asas Dan Dasar Perpajakan 1. Bandung: Refika Aditama, 1998.

Dewi Kania Sugiharti, Perkembangan Peradilan Pajak di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2005.

Abdul Hakim Nusantara dan Nasroen Yasabari (ed.), Pembangunan Hukum: Sebuah Orientasi (Pengantar Editor) dalam Beberapa Pemikiran Pembangunan Hukum di Idonesia, Bandung : Penerbit Alumni, 1980.

R. Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu hukum Pajak, Bandung: Refika Aditama, 1998.

Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981.

Niniek Suparni, Pelestarian, Pengelolaan dan Penegakan Hukum Lingkungan, Jakarta: Sinar Grafika, 1992.

Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional, Bandung: Bina Cipta, 1986.

Lawrence M. Friedman, American Law, New York: W.W. Norton & Company, 1930.

Muhammad Djafar Saidi, Perlindungan Hukum Wajib Pajak dalam Penyelesaian Sengketa Pajak, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2007.

Ali Purwito & Rukiah Komariah, Pengadilan Pajak: Proses Keberatan dan Banding. Edisi Revisi, Jakarta: Lembaga Kajian Hukum Fiskal Fh-UI, 2007.

Wiratni Ahmadi, Perlindungan Hukum Bagi Wajib Pajak Dalam Penyelesaian Sengketa Pajak, Bandung: Refika Aditama, 2006.

Wirawan B. Ilyas & Richard Burton, Hukum Pajak, Jakarta: Salemba Empat, 2007.

INTERNET/MAKALAH/ARTIKEL

“Proses Penyelesaian Sengketa Berjalan Lamban”, Sumber: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4fd8c35ad7be7/proses-penyelesaian-sengketa-pajak-lamban, diakses tanggal 23 Desember 2012.

Suparmanto Adjie, “ Kedudukan Pengadilan Pajak dalam Sistem Peradilan Indonesia serta Eksistensi dan Kelemahan Peradilan Pajak Dalam Menyelesaikan Masalah Sengketa Pajak”, Sumber: http://suparmantoadjie.blogspot.com/2011/10/kedudukan-pengadilan-pajak-dalam-sistem.html, diakses tanggal 23 Desember 2012.

MaPPI FHUI, “Lembaga Paksa Badan dalam Pengadilan Pajak,” Sumber: http://www.pemantauperadilan.com/detil/detil.php?id=205&tipe=kolom, diakses tanggal 23 Desember 2012.

Yustus Maturbongs, “Membedah Pengadilan Pajak:, Sumber: http://politik.kompasiana.com/2010/04/06/membedah-pengadilan-pajak/, diakses tanggal 23 Desember 2012.

E. Rial N, Upaya-Upaya Penyelesaian Sengketa Pajak Di Indonesia, Warta Hukum, Edisi: Maret – April 2009, Sumber: http://pusdiklat.law.uii.ac.id/index2.php?option=com_docman&task=doc_view&gid=76&Itemid=86, diakses tanggal 23 Desember 2012.

Hariyanti, “Tinjauan Yuridis Kedudukan Pengadilan Pajak Dalam Sistem Peradilan di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak”, Sumber: http://risalah.fhunmul.ac.id/wp-content/uploads/2012/02/2.-Tinjauan-Yuridis-Kedudukan-Pengadilan-Pajak-Dalam-Sistem-Peradilan-di-Indonesia-Berdasarkan-Undang-Undang-Nomor-14-Tahun-2004-tentang-Pengadilan-Pajak-Hariyanti.pdf, di akses tanggal 23 Desember 2012.

Rizky Argama, “Pengadilan Pajak Di Indonesia: Aturan Dan Pelaksanaannya Sebagai Solusi Sengketa Pajak”, Makalah Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Desember 2005, Sumber: http://argama.files.wordpress.com/2007/08/pengadilanpajakdiindonesia_aturandanpelaksanaannyasebagaisolusisengketapajak.pdf, diakses tanggal 23 Desember 2012.

Nisa Istiani, “Menelaah Keberadaan Pengadilan Pajak”, Teropong : Media Hukum Dan Keadilan, FH-UI, 2004


[1] Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, (Jakarta: Toko Agung , 2002), hlm. 2

[2] Galang Asmara, Peradilan Pajak Dan Lembaga Penyanderaan (Gijzeling) Dalam Hukum Pajak di Indonesia, (Yogyakarta: LaksBang Pressindo, 2006), hlm. 1.

[3] Ibid., hlm. 3.

[4] Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1989), hlm. 26.

[5] Soemitro, Rochmat. 1998. Asas Dan Dasar Perpajakan 1. Bandung: PT. Refika Aditama. Halm.8.

[6] Dewi Kania Sugiharti, Perkembangan Peradilan Pajak di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2005), hlm. 72

[7] Galang Asmara, Op.cit., hlm. 1.

[8] Abdul Hakim Nusantara dan Nasroen Yasabari (ed.), Pembangunan Hukum: Sebuah Orientasi (Pengantar Editor) dalam Beberapa Pemikiran Pembangunan Hukum di Idonesia, (Bandung : Penerbit Alumni, 1980), hlm. 2.

[9] R. Santoso Brotodihardjo, Pengantar Ilmu hukum Pajak, (Bandung: Refika Aditama, 1998), hlm. 2.

[10] Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981), hlm. 127

[11] R. Santoso Brotodihardjo, Op.cit, hlm.2

[12] Ibid., hlm. 4

[13] Rochmat Soemitro, Op.cit., hlm. 62.

[14] Ibid, hlm. 101.

[15] MaPPI FHUI, “Lembaga Paksa Badan dalam Pengadilan Pajak,” Sumber: http://www.pemantauperadilan.com/detil/detil.php?id=205&tipe=kolom, diakses tanggal 23 Desember 2012.

[16] Djangkung Sudjawardi, Lembaga Paksa Badan dalam Pengadilan Pajak. Masyarakat Pemantau Peradilan Indoensia tanggal 15 Maret 2005. http://www.pemantauperadilan.com/detil (3 Maret 2008)

[17] Nisa Istiani, Menelaah Keberadaan Pengadilan Pajak. Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia. Sumber: http://www.pemantauperadilan.com/detil (3 Maret 2008)

[18] Galang Asmara, Op.cit., hlm. 8-12

[19] Niniek Suparni, Pelestarian, Pengelolaan dan Penegakan Hukum Lingkungan, (Jakarta: Sinar Grafika, 1992), hlm. 36

[20] Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional, (Bandung: Bina Cipta, 1986), hlm. 1

[21] Lawrence M. Friedman, American Law, (New York: W.W. Norton & Company, 1930), hlm. 5-6

[22] Muhammad Djafar Saidi, Perlindungan Hukum Wajib Pajak dalam Penyelesaian Sengketa Pajak, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2007), hlm. 60-62

[23] Ali Purwito & Rukiah Komariah, Pengadilan Pajak: Proses Keberatan dan Banding. Edisi Revisi, (Jakarta: Lembaga Kajian Hukum Fiskal Fh-UI, 2007), hlm. 107-108.

[24] Sjachran Basah, Op.cit., hlm. 37

[25] Wiratni Ahmadi, Perlindungan Hukum Bagi Wajib Pajak Dalam Penyelesaian Sengketa Pajak, (Bandung: Refika Aditama, 2006), hlm. 43.

[26] Dewi Kania Sugiarti, Op.cit., hlm. 72

[27] Ibid

[28] Wirawan B. Ilyas & Richard Burton, Hukum Pajak, (Jakarta: Salemba Empat, 2007), hlm. 78-79

[29]Proses Penyelesaian Sengketa Berjalan Lamban”, Sumber: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4fd8c35ad7be7/proses-penyelesaian-sengketa-pajak-lamban, diakses tanggal 23 Desember 2012.

Leave a comment